Pedestrian dihambat tatanan

Pedestrian atau yang lebih akrab disebut dengan pejalan kaki, bukanlah suatu hal yang asing bagi peradaban hidup umat manusia. Kegiatan yang menggunakan anggota gerak tubuh ini seringkali digunakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari bahkan dalam hal melakukan mobilisasi dari satu tempat ke tempat yang lain, terlepas seberapa jauh mobilisasi itu terjadi, sebelum adanya kendaraan pribadi seperti halnya sepeda dan kendaraan bermotor layaknya sepeda motor, mobil dan sebagainya.

Dewasa ini, tren berjalan kaki kembali digalakkan dengan dalih sebagai cara hidup sehat dan juga sebagai alternatif ditengah kejenuhan jemuhnya situasi jalanan yang setiap waktu selalu penuh sesak akan kendaraan pribadi yang saling berdesakan. Ajakan untuk mulai berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum bukanlah isapan jempol belaka, hal ini terlihat dari adanya upaya stakeholder terkait dalam meningkatkan minat para pengendara kendaraan roda dua dan/atau empat untuk beralih agar menggunakan sarana transportasi, seperti halnya Kementerian Perhubungan yang memberikan hibah sejumlah bus dalam meningkatkan jumlah bus yang laik jalan di setiap provinsi yang ada di Indonesia dengan slogan, "Ayo Naik Bus, Biar Engga Bikim Macet".

Namun terlepas dari ajakan pemerintah agar mengubah pola perilaku yang sedari awal berwujud individual transportation tendency menuju mass transportation tendency, tidak jarang juga kita melihat masih adanya ketidakseriusan pemerintah dalam mendukung segala aspek agar dapat mengubah paradigma yang telah penulis paparkan diatas. Aspek yang dimaksud ialah komponen-komponen pendukung demi memberi rasa aman dan kenyamanan bagi setiap pejalan kaki, baik yang sedari dulu memilih berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum maupun para pengendara pribadi yang baru beralih kepada penggunaan transportasi umum. Komponen yang dimaksud dimulai dari tersedianya trotoar yang nyaman bagi pejalan kaki, zebra cross yang terlihat jelas bagi pengendara kendaraan bermotor, hingga Jembatan Penyemberangan Orang (JPO) yang berada diatas jalan-jalan yang padat.

Mari kita berpikir sejenak, mungkin pemerintah telah memenuhi segala komponen diatas, namun mari kita telusuri lagi, masih saja terdapat beberapa hambatan bagi pedestrian yang disebabkan oleh tatanan kotanya sendiri. Ada dua contoh gambar yang dapat penulis lampirkan sebagai gambaran terkini, betapa concern about pedestrian is one doesn't simply dalam tatanan kehidupan perkotaan, sehingga bagi tatanan kota itu cantik, malah dapat membahayakan seorang pedestrian itu sendiri.

Seperti halnya separator jalan yang terletak di jalan protokol salah satu kota terbesar di Indonesia, sebut saja kota A. Sekilas tidak nampak permasalahan sama sekali atas separator jalan yang memisahkan arus balik dan arus pergi di jalan protokol tersebut, namun jika dilihat kembali, separator tersebut dapat membahayakan pejalan kaki dikarenakan bentuknya yang seperti gundukan namun permukaannya sangat licin ketika berdiri diatasnya. Mungkin ada premis yang mengatakan, "oh memang ini bukan untuk pejalan kaki melintas karena didekatnya tidak ada zebra cross, dikarenakan pemerintah telah membuat zebra cross didekat areal-areal penting". Memang benar ada zebra cross di sepanjang jalan protokol dimaksud, namun yang sangat disayangkan ialah yakni adanya pengalihan fungsi diatas zebra cross tersebut menjadi U-turn bagi pengendara roda dua dan dapat membahayakan keselamatan jiwa para pejalan kaki yang melintasinya.

Berbeda halnya dengan Kota A, Kota B juga membawa permasalahan yang sama dan bahkan lebih fatal jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Kota A. Lagi-lagi permasalahan tersebut masih berkaitan dengan tata ruang kota dan zebra cross yang selalu berlawanan. Jika kita lihat permasalahan di kota A terletak pada desain separator jalan yang sangat berbahaya untuk berdiri agar bisa menyeberang serta beralih fungsinya zebra cross menjadi U-turn bagi pengendara motor, lain halnya dengan kota B yang meletakkan "taman kecilnya" ditengah zebra cross. Bukan di jalan biasa, melainkan ditengah jantung dari kota itu sendiri.

Dari kedua gambaran diatas dapat penulis simpulkan bahwasanya kendati aspek estetika dalam menata kota itu merupakan hal yang penting, namun bila diaplikasikan ke tempat yang tidak seharusnya, maka aspek estetika tersebut hanyalah hambatan tatanan belaka, khususnya bagi pedestrian yang saat ini masih dipandang sebelah mata.



Comments

Popular posts from this blog

trik jitu mengurai kemacetan di simcity buildit tanpa biaya sepersen pun

macam, jenis atau bentuk penafsiran hukum (interpretasi hukum) beserta contoh

contoh kasus H.perdata internasional, berdasarkan fakta yang terjadi